Rabu, 22 Juni 2011

Narasi Dibalik Sepiring Pecel Lele



“Bang, nambah nasi lagi ya, sambelnya yang banyak..”

Suara seorang bujang, sebut saya namanya Ateng – sekalipun nama pada kartu identitasnya adalah Budi Hanyoko terdengar kencang dan saling silang dengan suara gemericik minyak goreng, suara sendok garpu yang saling padu, suara nyanyian parau pengamen jalanan dengan musik seadanya, suara senda gurau orang-orang, serta suara knalpot dan klakson kendaraan bermotor yang lalu lalang. Ateng saat itu rupanya sedang menikmati sepiring nasi pecel lele di sebuah tenda tepi jalan yang letaknya memang hanya sepelemparan batu dari Gereja Katedral St. Yosef Pontianak, bersama dengan teman-temannya sesama aktifis kaum muda.
Ateng yang bertubuh tambun itu memang penikmat makan, terlebih makan pecel lele di dalam tenda tepi jalan itu. Ketika dulu dirinya terdaftar sebagai mahasiswa pada sebuah sekolah tinggi swasta Katolik yang tidak seberapa jauh dari lokasi tersebut, ia bisa menyantap pecel lele di tempat ini sampai tiga kali seminggu dan tidak jarang ia pesan dua porsi sekali makan. Memang, pecel lele tepi jalan yang berstempel merek “Lamongan” itu selalu ramai pembeli. “Ikannya segar dan murah!” demikian alasannya ketika ia ditanya soal kefanatikannya pada pecel lele. Satu porsi pecel lele dan segelas es teh hanya seharga sekitar belasan ribu, itupun lele sudah dikasih dua ekor. Apabila lelenya agak kecil, penjual kerap menambahkan seekor lagi. Inilah pasalnya kenapa Ateng dan teman-teman muda begitu betah makan di bawah tenda tepi jalan tersebut.
Ateng dan teman-temannya adalah sebagian kecil dari sebuah pola kebiasaan penduduk Pontianak yang suka makan malam diluar rumah, atau sekejar berkeliling mencari panganan dan cemilan. Itulah pasalnya sektor ekonomi yang bergerak dikala malam hari adalah sektor informal yang sebagian besar didominasi oleh sektor kuliner yang berdegup dinamis, bergerak dengan cepat. Aneka restoran dengan berbagai menu, kedai, tenda-tenda dan gerobak dorong seperti pedagang martabak, shiomai, pisang goreng berlapis srikaya, cha kwee tiaw, chai kwe, kue kia theng, nasi cap chay, minuman lidah buaya, aneka panganan lainnya sampai pada warung kopi. Warung kopi ini juga yang berkembang dan menjamur dan menjadi tempat favorit, disinilah segala lapisan masyarakat kerap bertemu, meminum secangkir kopi. Dan bagi penonton sepak bola, warung kopi menjadi surga tersendiri karena mereka menonton permainan sepak bola lewat layar lebar dan LCD.
Barangkali tidak ada alasan untuk melewatkan wisata kuliner apabila kita menginjakkan kaki di Kota Khatulistiwa ini.

Zoom Out: Budidaya Ikan Lele di Kalimantan Barat
Ateng dan teman-temannya mengaku kaget bukan kepalang ketika membaca berita hari Kamis tanggal 17 Maret 2011 silam. Pasalnya berita yang dibaca oleh dirinya adalah tentang sejumlah 525 ekor lele jumbo illegal asal Malaysia dimusnahkan oleh Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ratusan lele illegal tersebut yang masuk melalui Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terditeksi mengandung berbagai penyakit yang berbahaya. Dari hasil pemeriksaan beberapa sampel lele dalam kondisi hidup itu terjangkit penyakit berbahaya berupa bakteri Edwardsiella tarda. Akhirnya, Lele illegal berupa induk, calon induk, maupun ikan konsumsi itu dimusnahkan dengan cara dibakar.
Kepala BKIPM Syamsul Ma’arif menuturkan bahwa ikan lele illegal itu sudah mulai masuk secara periodik, sejak tanggal 14 Februari, 25 Februari dan 13 Maret yang lalu. Impor lele ditengarai masih marak, mulai dari indukan sampai ikan dewasa yang siap di konsumsi. Pemicunya adalah harga lele lokal yang cenderung mahal dan sulit untuk didapat. Harga lele dari Malaysia berkisar Rp.8.000 per kilogram sampai dengan Rp. 15.000 per kilogram. Sedangkan harga lele di Kalimantan Barat mencapai Rp. 20.000 hingga Rp. 25.000. Perbedaan harga inilah yang menjadi pemicu produk lele asal Malaysia mengalir ke Indonesia lewat perbatasan Kalimantan Barat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono menuturkan, kebutuhan konsumsi ikan lele di Kalimantan Barat terus meningkat, terutama dengan semakin digemarinya masakan pecel lele. Sementara produksi masih jauh dari optimal karena minimnya ketersediaan indukan dan benih ikan lele.
Tahun 2011 ini, produksi lele di Kalimantan Barat ditargetkan sebesar 35.000 ton sehingga dibutuhkan benih sebanyak 50 juta ekor. Namun, kapasitas benih yang tersedia baru 10 juta ekor. Untuk menaikan produksi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat mendorong balai-balai perikanan dan usaha pembenihan rakyat. Dimulai dari tahun ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat telah membagikan terpal dan benih lele kepada kelompok tani di kabupaten yang membutuhkan. Bulan Januari silam, sedang dikumpulkan kelompok tani yang beranggota tujuh hingga sepuluh orang.
Menurut Gatot, program budidaya lele dengan terpal ini diperuntukan bagi kabupaten di Kalimantan Barat seperti Sanggau, Sintang, Melawi, Ketapang, dan Kayong. Nantinya kelompok tani mendaftarkan diri kepada pihak kabupaten. Kemudian kabupaten menyampaikannya kepada DKP. Diharapkan program ini bisa sharing dengan pemerintah kabupaten. “Kabupaten juga bisa melaksanakannya. Khusus di Kota Pontianak lebih kepada program pemasaran karena di daerah tersebut konsumsi ikan cukup tinggi,” ungkap Gatot. Para petani ikan tak hanya mendapat terpal dan benih lele, mereka juga akan mendapatkan pelatihan tentang cara budidaya. Diharapkan mereka bisa memanfaatkan dan mengembangkan usahanya.
DKP sengaja memilih ikan lele dikarenakan kelangsungan hidupnya sangat tinggi. Pemeliharaannya juga cukup mudah. Pertumbuhannya juga berlangsung cepat, sehingga 2,5 bulan sudah bisa dipanen. Selain itu, ternak ikan lele memiliki peluang yang sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai salah satu alternatif mata pencaharian dan usaha masyarakat pedesaan di Kalimantan Barat. Hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan karena pada umumnya masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki halaman pekarangan sekitar rumah yang rata-rata cukup luas. Apabila halaman pekarangan di sekitar rumah masyarakat yang tinggal di pedesaan dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan lele dalam terpal atau bagi masyarakat pedesaan yang memiliki halaman pekarangan dengan lintasaan air sungai, dapat menggunakan jaring tancap untuk budidaya ikan lele, maka peningkatan gizi dan pendapatan masyarakat akan dapat meningkat dengan cepat.
Asupan gizi yang berasal dari protein hewani ikan cukup tinggi dan mengandung kandungan omega tiga untuk mencerdaskan manusia. Seperti yang menjadi harapan dan tekat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kalimantan Barat Ir. Gatot Rudiyono untuk terus mendorong peningkatan gizi dan kesejahteraan masyarakat melalui usaha perikanan budidaya karena sangat mudah untuk dilakukan, gampang cara perawatannya, stok benih ikan lele tersedia dengan cukup di UPTD. UPIS Anjungan , tenaga pendampingan teknis budidaya ikan siaga setiap saat serta apabila usaha budidaya ikan masyarakat mengalami wabah hama penyakit ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat sudah memiliki Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan yang siap melayani masyarakat pembudidaya ikan setiap saat.
Kerja keras itu mulai perlahan-lahan membuahkan hasil. Dalam beberapa bulan terakhir ini, usaha budidaya ikan lele dalam terpal sudah berkembang pesat di Desa Sengkubang, Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Pengembangan budidaya ikan lele dalam terpal ini dimotori oleh Kepala Desa setempat dengan pendampingan teknis dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pontianak serta tingkat Provinsi. Produksi ikan lele dalam terpal di desa Sengkuban ini bisa mencapai 2000 kilogram per bulan dan terserap habis di pasar lokal di daerah setempat. Harga pembuatan kolam terpal tidak terlalu mahal, dengan ukuran tiga kali empat meter adalah Rp. 150.000 dengan daya tahan mencapai dua tahun. Agar budidaya ikan lele ini menguntungkan maka sebaiknya pembudidaya menebar benih ikan lele minimal lima ribu ekor per sekali tebar, jumlah yang lebih besar tentunya akan semakin meningkatkan tingkat persentase keuntungan pula. Menurut Kepala Desa setempat dalam sekali panen maka biaya pembuatan kolam sudah terbayar.
Selain itu, dari sisi pemerintah pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan menaruh perhatian yang besar akan jumlah ikan yang beredar di wilayah Indonsia, hal ini ditunjukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2010 tentang Pengendalian Mutu dan Hasil Perikanan yang masuk ke wilayah Republik Indonesia. Namun dalam peraturan tersebut memiliki kekurangan berupa tidak tercantumnya jenis ikan yang boleh diimpor dari luar negeri. Akibatnya berbagai jenis ikan-ikan yang bisa diproduksi sendiri dalam negeri juga diimpor dari luar, seperti ikan lele dan ikan kembung yang dijual dengan harga yang murah. "Contohnya ikan kembung impor dari China hanya Rp 5.000 per kilogram, sedangkan ikan kembung lokal bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram" kata Abdul Halim, seorang Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).
Sebetulnya, kasus penyelundupan ikan lele di Entikong, Kalimantan Barat bukanlah suatu hal yang pertama. Kasus impor ikan illegal juga ditemukan antara lain di Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, Pelabuhan Tajung Perak Surabaya, serta Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta. Jumlah penahanan ikan impor illegal oleh KKP pada 2011 hingga akhir Maret cukup fantastis, setidaknya telah bertambah hingga mencapai sekitar 7.660 ton.
Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan menemukan lima belas kontainer berisi ikan impor illegal dalam inspeksi mendadak di Pelabuhan Tanjung Priok, Maret lalu. Fadel juga menegaskan, tidak boleh impor sembarang ikan dan pemerintah hanya mengizinkan impor ikan khusus seperti salmon dan kamachi yang dimakan orang asing sebagai bahan baku restoran. Ketentuan izin impor perikanan bertujuan untuk pengen¬dalian impor ikan karena selama ini muncul indikasi banyak ikan beku yang diimpor untuk tujuan perdagangan dan konsumsi sehingga merusak pasar produk perikanan dalam negeri.

Bonum Communae; Panggilan Menuju Kesejahteraan Bersama
Sehubungan dengan Hari Pangan Sedunia (HPS), Kisah ikan Lele diatas barangkali adalah sebuah percikan inspirasi kecil dari segitu banyak hal yang bisa kita upayakan dan lakukan sebagai bagian dari pembangunan dan pengembangan sumber pangan menuju pada kedaulatan pangan itu sendiri. Kedaulatan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) adalah hak untuk untuk memiliki pangan secara terartur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individual maupun secara kolektif.
Kedaulatan pangan sejatinya tidak lain adalah sebuah kebebasan dan kedaulatan rakyat serta komoditasnya dalam dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri. Ketersediaan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, produsen memiliki keduduka strategis dalam ketahanan pangan. Karena itu konsep ketahanan pangan berkembang pada upaya mewujudkan kedau¬latan pangan yaitu keberdayaan produsen atas hidup dan keman¬diriannya.
Gerakan pangan tersebut mendorong kesadaran paradigma kita untuk meng¬upayakan sebuah gerakan kehidupan dengan pangan sebagai investasi yang menghidupi. Memba¬ngun, mengembangkan, dan memelihara sumber-sumber pangan bukanlah semata-mata berbicara secara teknis, namun lebih dari itu, yaitu dari sisi spiritualitas dan moralitas yang membangun kesadaran akan pentingnya memelihara sebuah keutuhan ciptaan Allah. Dengan demikian segala upaya manusia untuk membangun kehidupan pangan sejatinya berpuncak pada terwujudnya kesejahteraan bersama (Bonum Communae).

Sabtu, 15 Januari 2011

Wine



Wine comes in at the mouth and love comes in at the eye.
that's all we shall know for truth, before we grow old and die.
I lift the glass to my mouth, look at you, and I smile...

Senin, 20 Desember 2010

Bebek



Temanku berkata kepadaku:
“Kamu tidak cukup gila untuk dimasukan ke rumah sakit jiwa! Tapi kamu juga tak cukup waras untuk dimasukan ke seminari! ...”

Kataku kepada temanku:
“Suatu ketika sebutir telur bebek dierami oleh seekor induk ayam. Lantas telur ini menetas dan keluarlah bebek kecil itu. Awalnya ia mempelajari apa yang dilakukan oleh induk ayam itu, cara berkotek, cara berjalan, cara mematuk tanah mencari cacing, sampai suatu ketika mereka berjalan di tepian kolam. Bebek kecil itu lantas terjun berenang di kolam tanpa menghiraukan sang induk ayam berkotek-kotek kebingungan..
Temanku, saya sudah terjun ke samudra yang asing bagimu dan saya betah di sana. Tentunya engkau tidak dapat mencela diriku bila engkau memilih berdiri di tepi kolam saja, bukan?”

Sabtu, 18 Desember 2010

December



Petit papa Noël
Quand tu descendras du ciel
Avec des jouets par milliers
N'oublie pas mon petit soulier.

Santa Claus kecil, ketika engkau datang dari langit,
Dengan ribuan mainan bersamamu,
Jangan lupa untuk meninggalkan sebuah mainan di kaus kakiku.

Desember adalah suatu momen menunggu. Malam akan selalu berlalu, lalu kalender dirobek dan diganti yang baru. Desember melesat dengan cepat, dan pada diri hari kita akan dicegat sebuah pertanyaan: apa yang akan datang? Siapa yang akan datang? Apa yang yang baru? Bagaimana yang baru?
Empat minggu sebelum hari Natal, yang beragama Kristen menamakannya sebuah momen advent. Advent diambil dari bahasa Latin yang berarti kedatangan, suatu ketibaan, yang penting dan luar biasa. Namun apa yang ditunggu kedatangannya adalah sesuatu yang abstrak, entah itu sebuah mukjijat, entah itu sebuah yang mustahil, atau barangkali sebuah bencana. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi..
Namun dibalik itu, Desember adalah sebuah momen harap. Dibalik pohon natal plastik berdebu, diantara kerlip lampu natal, diantara tanda “sale” di shopping center, diantara kartu, sms, dan bbm natal, ada sebuah harap yang dilambungkan. Harap yang dibangun pada sebuah penyerahan, bukan pada sebuah iman yang patah. Sebuah harap bahwa Sang Suci merasuk pada hidup yang temporal.
Kita semua tahu, bahwa ketika Sang Suci hadir dan hidup yang temporal, ada keajaiban dan mukjijat dalam hal yang paling sepele, dalam hal yang paling nadir sekalipun. Semua benda dan hal menjadi sebuah kata “Engkau”.
Desember adalah sebuah bulan tanpa patah harap.

A Birthday



Lagu akan dinyanyikan diiringi tepuk tangan, lantas diakhiri dengan tawa dan kemudian hening.
Lilin akan dinyalakan, membakar angka umur yang ditancapkan pada mentega, berkerlap kerlip sejenak, lalu setelah sebuah harapan diucapka lantas ia ditiup.
Lalu prosesi ulang tahun itu selesai…

Ada kalanya kesendirian menjadi ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia penciptaan waktu.
Keheningan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulangi manisnya keberhasilan dan indahnya kegagalan. Hening selalu membuat kita berkaca – suka atau tidak pada hasilnya.

Dalam hening, sebuah doa menjadi penghangat jiwa, sebuah kalori yang tak pernah habis dicerna oleh usus. Sebuah doa menjadi lilin tanpa sumbu yang menerangi jalan setapak ketika dunia menjadi terlelap dan gelap.
Alangkah bahagianya, sesungguhnya kita mampu berulang tahun setiap hari.

*10950 hari sudah kujalani.

Jumat, 17 Desember 2010

Angel Without Wings




Angels we have heard on high
Sweetly singing o'er the plains,
And the mountains in reply
Echoing their joyous strains.
Gloria in excelsis Deo..


Sesaat aku menatap hujan sore bulan Desember yang meninggalkan titik-titik air bening di kaca jendela, sedang lagu Angels we have heard on high mengalir sendu lewat headset yang terpasang di telingaku. Sebuah momen yang cukup sederhana yang cukup membuatku teringat dengan sebuah kata: Angel. Selanjutnya, sekali lagi setelah beberapa kali aku membiarkan melankoli menggelembung dan akhirnya pecah dalam lamunan sesaat.
Ketika aku masih kecil, aku beranggapan bahwa malaikat itu bersayap, seorang perempuan dengan senyum manis dan memiliki tongkat ajaib, bercahaya dan memakai pakaian putih bersinar serta ada bintang-bintang di kepalanya. Setidak-tidaknya sosoknya sama seperti yang aku lihat pada kartu-kartu natal, gantungan-gantungan di pohon natal, atau kostum para malaikat dalam adegan kelahiran Kristus yang kerap dipentaskan di gereja pada malam natal.
Namun, tampaknya ada yang harus kuubah dalam paradigmaku. Barangkali Tuhan menciptakan para malaikat berupa manusia-manusia yang hidup disekitar kita, yang selalu memberi kebaikannya, yang senantiasa bergesek dalam kehidupan sehari-hari. Mereka barangkali tidak bersayap, tapi dalam tangan hangat yang selalu menggengam kala kita membutuhkannya. Mereka juga tidak dalam cahaya, tapi dalam kesahajaan yang menentramkan. Dan kini, aku percaya bahwa ada malaikat-malaikat di sekitarku.

Aku teringat pada seorang perempuan sederhana yang kuat, yang menemani kami dari kecil dan mengajari kami tentang kasih sederhana yang kuat.
Dia adalah penganut agama Budha yang taat. Setiap malam, sebelum beristirahat, ia akan mengenakan jubah kuning dan tenggelam dalam dunianya sendiri, bergumam sendiri dengan bahasa yang tak aku mengerti. Beberapa kali aku bertanya dalam batinku, bagaimana mungkin Tuhan mendengarnya dalam gumaman yang tidak jelas dan tidak karuan itu. Namun ketika melihat wajahnya dalam doa, aku tahu bahwa ia bahkan lebih dekat dengan Sang Keabadian itu melebihi orang-orang terpelajar yang pernah aku temui.

Dia mencintai satwa. Suatu ketika ia memungut seekor kucing betina berbulu kuning yang terlantar di jalan, lantas di pelihara di rumah. Hari-hari berikutnya kucing itu kerap mampir ke rumah sekedar untuk santap siang atau malam, beristirahat sejenak di halaman rumah, atau bermanja sesaat bersama majikannya. Ketika kucing ini ditabrak kan patah kakinya, ia dibalut dengan sederhana dan teliti. Lalu, sampai suatu ketika kucing ini tidak pernah datang lagi.
“Kucing yang baik. Ia tidak mau menyusahkan kita untuk mengurusi kematiannya. Dia pasti pergi ke suatu tempat dan mati..” katanya suatu ketika ia menunggu kucing datang, dan kami tahu bahwa kucing itu tak lagi pernah datang.

Dia adalah orang yang bisa diandalkan ketika kami kehilangan ide dalam prakarya. Ia pernah membantuku membuat bunga mawar dari kertas krep kuning ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tak punya ide untuk ketrampilan bebas. Kontan, guruku mengerutkan dahinya dan memandangku penuh curiga ketika bunga itu aku kumpulkan untuk mendapatkan nilai.

Dia adalah perempuan yang pencerita dan pendengar yang baik. Ketika aku kecil, ia bercerita tentang kisah dewa dewi dan negeri peri, tentang masa mudanya, tentang pohon dan hutan, tentang biji pohon karet yang licin yang sering aku pakai untuk bermain gundu, tentang kakek dan nenek, tentang babi-babi yang pernah diternakan, tentang bintang berekor, tentang sungai Kapuas dan ikan-ikan kecil, tentang barongsai dan ritual menyeberang dibawah badan naga yang diarak, tentang kembang api warna warni, dan segala hal.
Dia adalah perempuan yang sederhana dan hemat. Pakaiannya tak lebih dari sebuah lemari pakaian di kamar tidurnya. Ia menyimpan dengan rapi beberapa kain-kain peninggalan dari nenek. Beberapa lembar foto dalam sebuah album yang sudah menguning, beberapa perhiasan yang memudar dalam sebuah kotak plastik, sebuah buku kecil berisi resep membuat kue, sebuah tas tangan, sepasang sepatu, dan beberapa barang lain. Semuanya muat dalam satu lemari kayu, yang aku tahu isinya setelah ia - tanteku tiada.

Hampir tiga tahun aku tak pernah lagi melihatnya, kecuali dalam mimpi yang hilang lenyap ketika terbangun dari tidur.
Aku tidak pernah bertanya alasannya kenapa ia tidak menikah dan memilih tinggal bersama kami, namun yang aku tahu bahwa ia mempunyai cinta universal yang ia bagikan kepada kami, setiap keponakannya yang sudah dianggap sebagai anak-anaknya sendiri.

Sebuah cicin logam mulia sederhana melingkar di jari tengah tanganku, darinya. Mengingatkanku betapa sederhananya dan mulianya mengasihi, simbol sebuah energi kasih yang tanpa berawal dan juga tanpa berakhir.

Sayup-sayup aku dengar lagi lagu natal itu ..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …Kemuliaan kepada Allah ditempat yang maha tinggi.
Aku yakin, ia telah menggabungkan suarakan dalam suara paduan para malaikat di Surga..
Gloria in excelsis Deo … Gloria in excelsis Deo …

Selasa, 30 November 2010

Pelangi di Bumi Khatulistiwa



Ngangau ka Petara Aki, Petara Ini.
Agi ga aku minta gerai, minta nyamai,
Minta gayu, minta guru!


Aku memanggil Engkau ya Allah nenek moyang kami.
Aku mohon kesehatan dan kedamaian,
panjang umur dan kebijaksanaan


Barangkali Indonesia sudah mulai berangsur-angsur melupakan peristiwa kerusuhan antar etnis yang terjadi lebih dari satu dasawarsa lalu di Sambas, Kalimantan Barat, medio Februari 1999. Namun tidak demikian dengan Marsuah, seorang perempuan berumur separuh baya tersebut masih merekam jelas peristiwa tersebut dalam benaknya.
Marsuah memang berhasil selamat dan bertahan hidup, walaupun peristiwa tersebut telah merenggut delapan anggota keluarganya termasuk Niram, suaminya, yang menjadi korban keganasan dari manusia yang kehilangan akal sehat. Dalam pelarian ia harus membesarkan anak-anaknya, memilih menjanda dan terus bertahan sebagai single parent pasca konflik sosial tersebut.
Marsuah sebetulnya adalah seorang petani biasa, yang kesehariannya berkebun, dan merawat sapi tetangga. Ia sekeluarga tinggal di Desa Sengawang, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, sebelum peristiwa itu datang dan menyisipkan sebuah kehilangan dan ruang yang kosong dalam dirinya. Ia bahkan tidak tahu menahu kenapa konflik personal yang kecil itu kemudian bergolak menjadi sebuah konflik etnis yang besar. Yang ia ketahui adalah bahwa ketika ia memilih melarikan diri bersama kelima anaknya dan bersembunyi di hutan, momen itu adalah sekaligus perjumpaan terakhir dengan keluarga dan saudaranya.
Pasca kerusuhan, Marsuah bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anaknya. Mulai dari kerja upahan, mengangkut papa, pipa air, hingga mencari rumput untuk makanan sapi. Semua yang dilakukannya agar anak-anaknya bisa tumbuh dewasa.
Marsuah memang bukan seorang diri, Ia mengungsi atau terpaksa melarikan diri dari rumahnya bersama pengungsi lainnya yang berjumlah 53.948 jiwa atau 9.913 kepala keluarga (KK). Lebih dari satu tahun mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dengan fasilitas yang sangat terbatas. Pemerintah kemudian melakukan relokasi ke Tebang Kacang. Sebuah desa yang jaraknya sekitar 35 kilometer ke arah tenggara dari Kota Pontianak. Desa Tebang Kacang masuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Kubu Raya resmi jadi kabupaten pada 2007 hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Program relokasi ini menelan biaya sekitar dua setengah milyar rupiah.
Marsuah juga memperoleh satu unit rumah untuk memulai kehidupan barunya. Rumahnya sangat sederhana. Tak ada peralatan mewah. Bahkan cenderung kosong. Hanya beberapa kursi saja. Namun rumah beratap seng yang terbangun dari papan itu bersih. Sudah hampir sepuluh tahun Marsuah tinggal di Tebang Kacang.

Zoom Out: Masalah Konflik Antar Etnis
Narasi Marsuah diatas adalah salah satu dari ratusan ribu catatan suram kisah korban yang berhasil hidup dari sebuah peristiwa kekerasan yang bernama konflik antar etnis.
Memang benar bahwa tidak ada suatu masyarakat dimanapun di dunia ini yang tidak mengalami konflik. Konflik yang dialami oleh warga masyarakat dalam kehidupan sosialnya, perbedaannya hanyalah terletak pada intensitasnya dan cakupan wilayahnya saja. Ada konflik yang berupa persaingan dan pertentangan yang biasa saja, yang melibatkan warga masyarakat dalam jumlah yang relatif kecil, akan tetapi ada juga konflik yang melibatkan masyarakat dalam jumlah yang besar.
Konflik antar etnis di Kalimantan Barat tahun 1999 tentunya bukan konflik pertama kali yang terjadi. Hal ini menjadi salah satu ketertarikan beberapa penulis untuk berupaya merekam jejak-jejak konflik yang pernah terjadi di Bumi Khatulistiwa itu. Sebut saja Arafat yang mencatat bahwa sejak tahun 1933 sampai dengan 1997, telah terjadi setidaknya 10 kali konflik dengan kekerasan. Sementara Alqadrie menyatakan, bahwa sejak 1962 sampai dengan 1999, telah terjadi setidaknya 11 kali. Lain lagi dengan Petebang mencatat bahwa sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1999, telah terjadi sebanyak 12 kali.
Ketiga sumber diatas memang mencatat frekwensi konflik yang berbeda, walaupun demikian setidaknya mereka menggambarkan fenomena sekaligus fakta yang sama bahwa konflik terjadi relatif sering dan selalu berulang. Dalam kurun waktu 50 sampai dengan 60 tahun terakhir, telah terjadi 10 sampai dengan 12 kali konflik. Hal ini berarti bahwa dalam rentang waktu 4 – 5 tahun, rata-rata telah terjadi sekali konflik.
Dari sekian banyak konflik antar etnis di Kalimantan Barat, konflik antara etnis Dayak dengan Madura lah yang paling mencekam dan menakutkan, karena selalu memakan korban yang sangat banyak dan meninggalkan kesan traumatik bagi semua pihak. Konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan yang melampaui batas nilai kemanusian berupa pembakaran rumah dan harta milik, pengusiran dari tempat tinggal, bahkan pemenggalan kepala korban. Konflik yang lain seperti antara etnis Melayu dengan Madura tidak sekeras konflik tersebut. Kehidupan dan karya manusia yang telah dibangun sekian lama lenyap sekejap karena dilahap api, dirusak dan dihancurkan oleh massa yang terbawa amukan emosional. Sementara itu konflik etnis Dayak dengan Cina, Melayu dengan Cina dan Melayu dengan Dayak cenderung berbau politik.
Harus diakui, korban konflik antar etnis di daerah ini tidak hanya mencakup kerugian dalam bidang materi, tetapi terutama meninggalkan trauma psikologis yang sulit terhapus dalam kurun waktu singkat. Mereka yang kehilangan anggota keluarga akan tetap menyimpan luka batin yang memprihatinkan masa depan mereka. Seringkali dendam kesumat melilit hidup mereka. Manusia terkubur dalam liang kebencian dan permusuhan yang merugikan hidup persaudaraan.

Sangat mudahnya kedua etnis (Dayak dan Madura) ini melakukan pertikaian yang melibatkan etnis ini, ada kaitannya dengan kebiasaan tradisional yang sering dilakukan oleh kedua etnis ini sejak zaman nenek moyang mereka sampai sekarang masih melekat, yaitu kebiasaan mengayau pada etnis Dayak dan kebiasaan carok pada etnis Madura. Kebiasaan tradisional pada kedua etnis ini memang tidak tampak lagi dalam bentuk aslinya di dalam praktek tetapi pada hakekatnya kebiasaan ini masih mempengaruhi secara psikologis sikap dan tindakan kedua etnis ini dalam menghadapi kompetisi sosial.
Penelitian ilmiah pernah dilakukan untuk melihat lebih jelas mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing etnis tersebut. Perbedaan nilai yang dianut oleh suatu etnis kerapkali bergesek dan mampu memicu timbulnya suatu konflik. Hasil dari penelitian itu diluar dugaan. Keempat nilai teratas yang dianut oleh ketiga etnis: Dayak, Melayu, dan Dayak ternyata sama. Keempat nilai diurut dari yang paling atas adalah: Konformitas, Keamanan, Baik Kepada Orang lain dan Universalisme. Keempat nilai tersebut adalah nilai yang boleh jadi jauh dari tindak kekerasan, namun menjadi suatu alat picu untuk meledaknya suatu tindak kekerasan.
Konformitas sosial yang merupakan nilai teratas adalah proses dimana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Kebersamaan dalam suatu etnis sedemikian erat sehingga suatu hal yang menimpa seseorang dari etnis tersebut menjadi perhatian dari orang lain dalam etnis bersangkutan. Nilai kedua adalah keamanan, dimana nilai ini menjadi pegangan kuat etnis tersebut. Hal ini menjadi jelas, ketika seseorang dalam etnis tersebut merasa terancam keamanannya, hal ini merupakan ancaman bagi suatu etnis tersebut. Kerap hal ini yang menjadi pemicu ledaknya suatu konflik yang bersifat massal. Perbuatan yang bersifat individual kerap menjadi faktor utama merebaknya suatu konflik yang bersifat kolosal.
Berikut adalah sekurang-kurangnya tiga alasan munculnya konflik:
• Akumulasi kejengkelan individual dan sosial etnis Dayak dan Melayu terhadap perilaku sejumlah orang Madura yang tinggal dan bekerja di Kabupaten Sambas. Kejengkelan ini muncul karena perilaku dan tindakan sewenang-wenang beberapa individu Madura terhadap harta benda milik orang lain (tanah, kebun, ternak dan keamanan hidup orang lain);
• Ketidakadilan sosial dalam menerapkan hukum positif. Pihak-pihak yang menjadi korban tindak kekerasan orang Madura merasa tidak mengalami keadilan dari pihak penegak hukum positif. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterlambatan penanganan kasus; serta penanganan masalah yang tidak tuntas dan tidak menjamin keadilan yang diharapkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat menjadi ‘penegak hukum dan keadilan’.
• Solidaritas etnisitas yang tinggi dari kalangan mereka yang menjadi korban tindak kriminal orang Madura. Masyarakat lokal (Dayak dan Melayu) memiliki solidaritas yang tinggi dalam menghadapi tindakan-tindakan yang menjengkelkan dan merugikan masyarakat.

Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi
Kisah konflik antar etnis tidak lain adalah salah satu noda yang berserak diatas sebuah kain yang bernama kemanusiaan. Konflik antar etnis yang terjadi selalu menyadarkan kita akan sebuah ringkihnya persaudaraan yang dibangun, sekaligus mendorong kita kearah pembaharuan dengan menciptakan sebuah hubungan dengan atmosfir persaudaraan sejati.
Anak tangga pertama menuju rekonsiliasi adalah langkah-langkah konkret yang bisa mencegah terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan sangat perlu disusun secara sistematis dan terus menerus. Sekurangnya ada tiga langkah yang dapat ditempuh pada tahap pencegahan konflik antar etnis terlebih setelah melihat penyebab yang disampaikan diatas:
• Penanganan konflik individual dengan cepat, tepat dan tegas, supaya konflik individual tidak merambat menjadi konflik sosial.
• Penegakan hukum positif seadil-adilnya dalam masyarakat, tanpa pandang suku bangsa, bahasa dan latar belakang budaya.
• Kontrol sosial yang ketat dari pihak keamanan dan pemerintah dalam keadaan hidup sosial sekarang sambil memberikan sangsi hukum yang tegas.

Selain itu, sangat diperlukan sikap dasar mau belajar, memahami, dan mendalami kekayaan kebudayaan orang lain. Ketertutupan dalam kebudayaan sendiri hanya akan mempertebal dinding pemisah antar golongan. Sudah saatnya setiap individu bersikap terbuka dan mau menerima kebudayaan orang lain, agar tiap warga masyarakat bisa saling memperkaya. Pandangan primordialisme yang menggiring manusia ke dalam lembah ketertutupan dan kepicikan perlu segera direvisi dan direformasi. Sikap menganggap diri memiliki kebudayaan yang superior perlu selalu diwaspadai sehingga tidak merusak tatanan hidup sosial. Nilai-nilai positif dari budaya orang lain harus kita timba dan pelihara demi kepentingan dan kemajuan bersama.

Keadaan sosial akan senantiasa mengundang manusia untuk segera memperbaiki dan membangun kembali peradaban manusia yang tercabik-cabik oleh kekejaman anak-anak manusia yang bertindak di luar kesadaran akan keharusan untuk berbuat baik; yang selanjutnya adalah untuk mewujudkan sebuah persaudaraan sejati, suatu inti dari eksitensi kemanusiaan itu sendiri. Keadaan sosial ini akan terperbaiki, antara lain, dengan membangkitkan kembali dan menghidupi ethics of relationship yang dari hari ke hari mulai luput dari perhatian manusia.
Lunturnya peran etika dalam hidup sosial, telah dan akan melahirkan kehidupan sosial yang tidak memiliki tujuan karena masyarakat tidak sanggup menegakkan nilai-nilai dasar yang mutlak ditanamkan dalam masyarakat sipil yang amat majemuk.
Kelima jenis etika: etika kepedulian, etika solidaritas, etika tanggung jawab, etika dialog dan etika holistik menggarisbawahi suatu kesetiakawanan sosial sebagai anggota masyarakat yang sedang membenahi diri. Kerja sama antar etnis dan antar pribadi sama sekali tidak bisa dilalaikan, sebab tiap anggota masyarakat kita saling terkait dan saling tergantung. Konflik-konflik dapat diatasi, antara lain, dengan menjadikan diri sendiri sebagai saudara bagi yang lain. Paradigma baru ini adalah pembentukan suatu persaudaraan sejati yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
Tentunya untuk menciptakan hubungan yang baik itu tidak hanya bersifat sepihak, tetapi mengaitkan dan mempertautkan pihak-pihak lain dalam hidup sosial; suatu pemberian diri untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik, yang mengedepankan persaudaraan sejati. Etika ini menjadi suatu kebutuhan mendesak dalam masyarakat majemuk yang ingin maju dan berkembang bersama prinsip utama TRUE (Trust, Respect, Understanding, and Empathy), kepercayaan, rasa menghormati, mau mengerti, dan rasa peduli.

Harmonisasi: Paradigma Persaudaraan Sejati
No man is an island. Tidak ada individu yang mampu hidup terisolir dari yang lain. Hubungan antara seorang individu dengan sesamanya adalah jantung hidup manusia sebagai makhluk sosial yang terus berdegup. Pengaruh sosial ini memang tidak pernah terelakan dan akan senantiasa bergesek dalam eksitensial hidup manusia. Kemanusiaan seseorang hanya bisa dialami dalam hubungan dengan sesama. Tiada pertumbuhan, kebahagiaan, dan perwujudan diri, tanpa keterlibatan pihak luar. Dimensi kejujuran dan saling keterbukaan dalam hubungannya dengan sesama amat diperlukan dalam proses memper¬tahankan mutu hubungan antar manusia. Dimensi ini bisa menumbuhkan kebaikan, keutamaan, dan kesejahteraan bersama.

Perbedaan warna kulit, bahasa, agama, peradaban, kebudayaan, status sosial seharusnya menjadi sumber nilai dan unsur hakiki pembentukan masyarakat. Perbedaan merupakan kenyataan sosial yang menuntut toleransi dalam hidup bersama. Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai sumber konflik, tetapi sebagai energi yang dapat disalurkan untuk membangun, memperbaiki, dan melengkapi keadaan hidup sosial.
Persaudaraan sejatinya akan terwujud penuh makna dan kaya warna ketika masing-masing individu memberikan dirinya sendiri.**

Kepustakaan

Arkanudin, Dr. M,Si.
2010 Menelusuri Akar Konflik Antar Etnik Khususnya Dayak Dengan Madura di Kalimantan Barat.
http://arkandien.blogspot.com/2010/06/menelusuri-akar-konflik-antar-etnik.html. Diakses pada tanggal 11 November 2010.

Chang, William.
2001 Dari Konflik Menuju Persaudaraan Sejati di Kalimantan.

Lamria, Maria.
2010 Analisa Penyebab Terjadinya Konflik Horisontal di Kalimantan Barat.
http://www.pdf-searcher.com/ANALISA-PENYEBAB-TERJADINYA-KONFLIK-HORIZONTAL-DI-KALIMANTAN-BARAT.html. Diakses pada tanggal 9 November 2010.

Pontianak Post.
2009 24 Agustus.

Sarwono, Sarlito Wirawan.
2007 Dari Stereotip Etnis ke Konflik Etnis

Artikel ini diikut sertakan dalam Buku Rampai XXI KWI 2011.

Rabu, 20 Oktober 2010

祈祷



Doa adalah sebuah kata yang menggelembung.
Terkadang doa tak langsung membuat semua masalah yang dihadapi selesai, tapi doa membuat kita kuat untuk untuk menyelesaikannya. Terkadang doa tidak selalu menyembuhkan, tapi doa menumbuhkan harapan untuk terus hidup. Terkadang doa tidak mengubah situasi yang sedang dihadapi, tapi doa membuat mindset atau pola pikir kita menjadi sebegitu berbeda ..

Jumat, 17 September 2010

Rose and Thorn



To have the rose, you must accept the thorns...
Memiliki mawar berarti juga menerima duri. Barangkali demikian dengan cinta, jangan mencintai jika tak ingin terluka. Namun, ada yang yang ironis memang; bahwa ketika masuk dalam cinta yang luas dan paripurna, luka menjadi sebuah pengalaman batin yang menguatkan..

Kamis, 16 September 2010

God's Dice



Barangkali tidak ada yang kebetulan. Semua perjumpaan, setiap moment dalam hidup adalah serpihan kecil dalam satu tatanan mozaik yang besar. Sedang Tuhan menatanya sedemikian baik. Yakinlah Tuhan tidak bermain dadu di atas hidup makhluk ciptaanNya...